Jumat, 16 Mei 2014

Kesehatan & Keselamatan Kerja(K3)



2.2.2 Tujuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Tujuan umum K3 adalah menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Tujuan himpunan perserikatan kesehatan (hiperkes) dapat dirinci sebagai berikut :
a. Agar tenaga kerja dan setiap orang berada di tempat kerja    selalu dalam keadaan sehat dan selamat.
b. Agar sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar tanpa ada hambatan (Suma’mur, 2009).
2.3 Tinjauan tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium
Laboratorium di rumah sakit merupakan salah satu fasilitas medik yang di sediakan sebagai penunjang diagnosis penyakit. Laboratorium juga mempunyai fungsi sebagai tempat untuk berbagai penelitian yang berhubungan dengan pembiakan media-media kuman penyakit, karena itu lingkungan laboratorium menjadi salah satu tempat yang balk untuk perkembangannya berbagai penyakit infeksi, antara lain HIV/AIDS (Perwitasari D dan Anwar A, 2006).
Bekerja dalam laboratorum klinik mempunyai risiko terkena bahan kimia maupun bahan yang bersifat infeksius. Risiko tersebut dapat terjadi bila kelalaian dan sebab-sebab lain diluar kemampuan manusia. Menjadi suatu tanggung jawab bagi manusia untuk mempelajari kemungkinan adanya bahaya dalam pekerjaan agar mampu mengendalikan bahaya serta mengurangi risiko sekecil-kecilnya melalui pemahaman mengenai berbagai aspek bahaya dalam lingkungan laboratorium, mengarahkan para pekerja dalam melaksanakan K3 (Imamkhasani S, 1990).
Laboratorium harus merupakan tempat yang aman bagi pekerjanya, terhadap setiap kemungkinan terjadinya kecelakaan, sakit maupun gangguan kesehatan. Hanya dalam laboratorium yang bebas dari rasa kekhawatiran akan kecelakan dan keracunan seseorang dapat bekerja dengan produktif dan efisien. Keadaan yang sehat dalam laboratorium, dapat diciptakan apabila ada kemauan dari setiap pekerja untuk menjaga dan melindungi diri. Diperlukan suatu kesadaran dan tanggung jawab, bahwa kecelakaan dapat berakibat pada diri sendiri dan orang lain serta lingkungannya. Tanggung jawab moral dalam keselamatan kerja memegang peranan penting dalam pencegahan kecelakaan disamping disiplin individu terhadap peraturan juga memberikan andil besar dalam keselamatan kerja (Imamkhasani S, 1990).
Dalam pekerjaan sehari-hari petugas laboratorium selalu dihadapkan pada bahaya-bahaya tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik, peralatan listrik maupun alat gelas yang digunakan secara rutin (Depkes RI, 2008).
2.3.1 Kecelakaan Kerja di Laboratorium
Menurut Tresnaningsih E (2004). Beberapa contoh kecelakaan yang banyak terjadi di laboratorium yaitu :
1.    Terpeleset, karena lantai licin.
2.    Mengangkat beban, akibatnya : cedera punggung.
3.    Mengambil sampel darah/cairan tubuh lainnya, hal ini merupakan pekerjaan sehari-hari di laboratorium. Akibatnya : Tertusuk jarum suntik, tertular virus AIDS, Hepatitis B.
4.    Risiko terjadi kebakaran.
 5.  Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam.
Pada umumnya bahaya atau kecelakaan kerja tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin kerja.
2.3.2 Penyakit Akibat Kerja di Laboratorium
Penyakit akibat kerja di laboratorium umumnya berkaitan dengan faktor biologis (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien); faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun terus menerus seperti antiseptik pada kulit, zat kimia yang menyebabkan kerusakan hati; faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah); faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi, radiasi dan lain-lain); faktor psikologis (ketegangan di kamar penerimaan pasien, gawat darurat, karantina dan lain-lain) (Tresnaningsih E, 2004).
Infeksi organisme patogen kepada petugas dapat terjadi melalui beberapa macam cara (Tresnaningsih E, 2004).
Cara yang paling sering menginfeksi petugas laboratorium adalah:
1.    Inhalasi. Saat melakukan pencampuran, penggilingan atau penghalusan bahan-bahan infeksius atau pada saat membakar kawat loop (ose), dapat membentuk percikan halus yang dapat terhirup oleh petugas yang tidak menggunakan masker.
2. Tertelan. Petugas laboratorium dapat terpapar melalui: (1) gerakan yang tidak disadari dari tangan ke mulut; (2) memasukkan bahan-bahan yang telah terkontaminasi (alat tulis) atau jari kemulut; (3) makan, minum atau merokok di dalam laboratorium atau tidak melakukan upaya kebersihan tangan yang benar; (4) menggunakan pipet melalui mulut.
3. Luka akibat tusukan. Cedera akibat kecelakaan dengan benda-benda tajam (jarum, pisau bedah dan bahan-bahan pecah belah yang telah terkontaminasi) merupakan penyebab utama infeksi yang didapat di laboratorium.
4. Kontaminasi pada kulit dan selaput lendir akibat cipratan dan percikan dari sampel yang infeksius.
Dengan segala kegiatan laboratorium yang sangat berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan, penerapan K3 oleh petugas laboratorium sangatlah penting untuk menekan atau mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang bisa membahayakan kesehatan terhadap petugas laboratorium. Antara lain dengan memakai APD pada saat melakukan pekerjaan di laboratorium serta dengan penanganan lingkungan kerja.

Pemantapan Mutu Internal Laboratorium Kesehatan

Oleh : La Ode Marsudi, S.ST
A.  Tinjauan Pemantapan Mutu Kimia Klinik
Pemantapan mutu kimia klinik adalah segala usaha agar hasil akhir pemeriksaan kimia klinik akurat, reliabel dan valid. Kegiatan Pemantapan Mutu (Quality assurance) terdiri atas Pemantapan Mutu Internal (PMI) dan Pemantapan Mutu Eksternal (PME) (DepKes, 2004).

1.  Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
Pemantapan Mutu Eksternal (PME) yaitu kegiatan pemantapan mutu yang dilakukan secara periodik oleh pihak luar untuk memantau hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh suatu laboratorium dengan cara membandingkan hasil laboratorium tersebut dengan hasil laboratorium lain atau hasil referensi dari laboratorium rujukan/penyelenggara. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) dapat diselenggarakan dalam lingkup internasional, nasional, maupun regional dalam suatu daerah. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) dapat dilakukan oleh Laboratorium pemerintah maupun Laboratorium swasta yang menjadi Laboratorium rujukan (Winoto, Santoso, dkk, 2008).
Pemantapan Mutu Eksternal (PME) dilakukan dengan cara mengirimkan 1 (satu) atau lebih spesimen (buatan) yang komposisinya tidak diketahui, ke setiap laboratorium peserta dalam jangka waktu yang tetap, untuk dianalisa.  Hasil dari analisa tersebut dikumpulkan dan kemudian diringkas dalam bentuk laporan, yang digunakan sebagai jawaban hasil laboratorium peserta untuk diperbandingkan dengan hasil yang “benar” yang terdapat pada laboratorium penyelenggara. Pada beberapa negara, Pemerintahnya menganjurkan laboratorium-laboratorium untuk ikut berpartisipasi dalam program ini sehingga hasil-hasil pemantapan mutu eksternal dapat dijadikan sebagai patokan korektif bagi pekerjaan yang kurang baik. Program Pemantapan Mutu Eksternal untuk bidang kimia klinik yang biasa dikenal sebagai PNPKLK-K (Program Nasional Pemantapan Kualitas Laboratorium Kesehatan Bidang Kimia Klinik) tingkat nasinal yang telah diselenggarakan oleh pemerintah sampai saat ini adalah Pusat Laboratorium Kesehatan bekerjasama dengan HKKI dan RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penilaian dilakukan dengan menggunakan perhitungan VIS (Variance Index Score), dengan nilai 0-400. Makin kecil nilai VIS yang diperoleh suatu laboratorium berarti makin baik penampilan laboratorium tersebut (DepKes, 2004).
2.  Pemantapan Mutu Internal (PMI)
Pemantapan mutu internal (PMI) adalah kegiatan pencegahan dan pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing laboratorium secara terus-menerus agar tidak terjadi atau mengurangi kejadian error/penyimpangan sehingga diperoleh hasil pemeriksaan yang tepat (Winoto, Santoso, dkk, 2008).
Pemantapan mutu internal akan memberikan jaminan kualitas kepada hasil analisa secara kontinyu dengan cara mengamati sebanyak mungkin langkah-langkah dalam prosedur analisa di mulai dari pengambilan spesimen sampai kepada penentuan hasil akhir. Pemantapan mutu internal dapat dianjurkan oleh kepala laboratorium sesuai dengan keinginannya, walaupun pemerintah sudah membuat program yang sama dan mengeluarkan kriteria-kriteria singkat untuk diterapkan secara praktis. Pada laboratorium kimia klinik, internal quality control biasanya meliputi analisa serentak dari serum kontrol yang diketahui konsentrasinya bersama-sama dengan serum pasien.  Pengertian pemeriksaan laboratorium semuanya mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang dimulai sebelum proses pemeriksaan itu sendiri dilaksanakan yaitu dimulai dari tahap pra analitik, analitik dan paska analitik (DepKes, 2004).
Tujuan dari Pemantanpan Mutu internal (PMI) adalah :
a.  Pemantapan dan penyempurnaan metode pemeriksaan dengan mempertimbangkan aspek analitik dan klinis.
b.  Mempertinggi kesiagaan tenaga, sehingga pengeluaran hasil yang salah tidak terjadi dan perbaikan kesalahan dapat dilakukan segera.
c.   Memastikan bahwa semua proses dari persiapan pasien, pengambilan, pengiriman, penyimpanan, dan pengolahan spesimen sampai dengan pencatatan dan pelaporan dilakukan dengan benar.
d.  Mendeteksi kesalahan dan mengetahui sumbernya.
e.  Membantu perbaikan pelayanan kepada pelanggan (pasien).
Hasil pemeriksaan Laboratorium digunakan untuk menentukan diagnosis, pemantauan pengobatan, dan prognosis, maka amatlah perlu untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan, dalam arti mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang dapat dipertanggungjawabkan (Anonim, 2008). 
Cakupan objektif Pemantapan Mutu Internal (PMI) meliputi aktivitas sebagai berikut :
a.  Tahap Pra Analitik
Pada tahap pra analitik dapat dilakukan usaha-usaha agar tidak terjadi kesalahan pra analitik dan mengurangi, meminimalisir interfensi pra analitik (Sukorini, dkk, 2010). Untuk menghindari kesalahan dalam pra analitik maka semua tahapan tersebut harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dapat dilihat oleh semua petugas laboratorium yang meliputi :
1.  Persiapan Pasien
Pemeriksaan untuk spesimen berasal dari manusia sering memerlukan persiapan pasien terlebih dahulu, sedagkan pemeriksaan spesimen berasal bukan dari manusia tidak memerlukan persiapan. Persiapan pasien dimulai saat seorang dokter merencanakan pemeriksaan laboratorium bagi pasien. Seorang dokter dibantu oleh paramedis diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan, manfaat dari tindakan itu, dan persyaratan apa yang harus dilakukan oleh pasien. Informasi yang diberikan harus jelas agar tidak menimbulkan ketakutan atau persepsi yang keliru bagi pasien. Untuk persiapan yang tidak mungkin dilakukan oleh pasien perlu dicatat pada formulir permintaan pemeriksaan, buku penerimaan pasien, dan formulir hasil pemeriksaan agar pemeriksa dilaboratorium  dan pengirim pasien dapat mengetahui keadaan tersebut (Puslabkes, 1997).
Hasil pemeriksaan laboratorium sangat ditentukan oleh persiapan pasien, oleh karena itu petugas laboratorium harus menjelaskan kepada pasien tentang hal-hal yang harus dilakukan pasien sebelum pengambilan spesimen dilakukan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium yaitu faktor biologis dan faktor fisiologis, ada yang bisa dikendalikan dan adapula yang tidak bisa dikendalikan. Faktor yang bisa dikendalikan seperti makanan, minuman, obat-obatan, dan aktivitas fisik. Oleh karena itu persiapan pasien harus disesuaikan dengan parameter yang akan diperiksa. Bila ada obat yang tidak dapat dihentikan harus ditulis pada lembar hasil pemeriksaan. Sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti usia, jenis kelamin, variasi harian, kehamilan, haid, demam, dan trauma (Puslabkes, 1997)
2.  Pemberian Identitas
Pemberian identitas pasien dan atau spesimen merupakan hal yang penting, baik pada saat pengisian surat pengantar/formulir permintaan pemeriksaan, pendaftaran, pengisian label wadah spesimen, maupun pada formulir hasil pemeriksaan.
Pada surat pengantar/formulir permintaan pemeriksaan laboratorium sebaiknya memuat secara lengkap :
a.  Tanggal permintaan.
b.  Tanggal dan jaminan pengambilan.
c.   Identitas pasien (Nama, umur, jenis kelamin, alamat) atau identitas spesimen.
d.  Identitas pengirim (Nama, alamat, nomor telpon).
e.  Diagnosis/keterangan klinis.
f.    Obat-obat yang telah diberikan dan lama pemberian.
g.  Jenis spesimen, lokasi pengambilan spesimen, dan volume spesimen.
h.  Pemeriksaan laboratorium yang diminta.
i.    Nama pengambil spesimen.
j.    Transpor media/pengawet yang digunakan.
Label wadah spesimen yang akan dikirim ke laboratorium harus memuat :
a.  Tanggal pengambilan spesimen.
b.  Identitas pasien atau identitas spesimen.
c.   Jenis spesimen.
Label wadah spesimen yang diambil di laboratorium harus memuat :
a.  Tanggal pengambilan spesimen.
b.  Nomor/kode spesimen.
Formulir hasil pemeriksaan harus memuat :
a.  Tanggal pemeriksaan.
b.  Identitas pasien (Nama, umur, jenis kelamin, alamat) atau identitas spesimen.
c.   Nomor/kode laboratorium.
d.  Hasil pemeriksaan, satuan nilai hasil pemeriksaan, nilai rentang/rujukan parameter.
e.  Keterangan lain yang dianggap perlu, misalnya penjelasan mengenai persiapan pasien yang tidak mungkin dilaksanakan , penjelasan hasil pemeriksaan hanya berlaku untuk spesimen tersebut.
f.    Tanggal hasil pemeriksaan laboratorium dikeluarkan dan tanda tangan penanggungjawab laboratorium (Puslabkes,1997).
3.  Penerimaan Spesimen
Bagian penerimaan spesimen harus memeriksa kesesuian antara spesimen yang diterima dengan permintaan formulir pemeriksaan dan mencatat kondisi spesimen tersebut pada saat diterima. Hal-hal yang perlu dicatat yaitu volume, warna, kekeruhan, bau, konsistensi dan lain-lain.

4.  Pengambilan Spesimen
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan spesimen sebagai berikut :
a.  Waktu pengambilan, umumnya pengambilan spesimen dilakukan pada pagi hari terutama untuk pemeriksaan kimia klinik, hematologi dan imunologi kerana umumnya nilai normal berdasarkan nilai pada pagi hari. Namun ada bebrapa pemriksaan yang waktu pengambilan spesimennya harus disesuaikan dengan perjalanan penyakit dan fluktuasi harian, misalnya pemeriksaan enzim-enzim jantung.
b.  Volume spesimen yang diambil harus mencukupi kebutuhan pemeriksaan laboratorium yang diminta atau dapat mewakili objek  yang diperiksa.
c.   Cara pengambilan spesimen harus dilaksanakan oleh tenaga yang terammpil dengan cara yang benar, agar spesimen tersebut mewakili keadaan yang sebenarnya.
d.  Lokasi pengambilan spesimen harus ditetapkan terlebih dahulu lokasi pengambilan yangt tepat sesuai dengan jenis pemeriksaan yang diterima.
e.  Peralatan untuk pengambilan spesimen, secara umum peralatan yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat : bersih, kering, tidak mengandung bahan kimia atau deterjen, terbuat dari bahan yang tidak mengubah zat-zat yang ada pada spesimen, dan mudah dicuci dari bekas spesimen sebelumnya.
5.  Wadah Spesimen
Wadah spesimen harus memenuhi syarat :
a.  Terbuat dari gelas atau plastik.
b.  Tidak bocor atau tidak merembes.
c.   Harus dapat ditutup rapat dengan tutup berulir.
d.  Besar wadah disesuai dengan volume spesimen.
e.  Bersih dan kering.
f.    Tidak mempengaruhi sifat zat-zat dalam spesimen.
g.  Untuk pemeriksaan zat dalam spesimen yang mudah rusak atau terurai karena sinar matahari, maka perlu digunakan botol berwarna coklat (aktinis).
h.  Untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan kuman, wadah harus steril.
i.    Untuk wadah spesimen urin, sputum, tinja sebaiknya menggunakan wadah bermulut lebar.
6.  Pengawet Spesimen
Beberapa spesimen memerlukan bahan tambahan berupa bahan pengawet atau anti koagulan. Kesalahan dalam pemberian bahan tambahan tersebut dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Bahan tambahan yang dipakai harus memenuhi persyaratan yaitu tidak mengganggu atau mengubah zat yang akan diperiksa.
7.  Pengiriman Spesimen
Laboratorium yang akann melakukan pengiriman spesimen ke laboratorium lain harus segera mengirim sampel yang telah terkumpul, agar kualtas dari sampel dapat terjamin. Disamping itu, petugas laboratorium yang akan melakukan pengiriman spesimen harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.  Sebelum mengirim spesimen ke laboratorium, pastikan bahwa spesimen telah memenuhi persyaratan seperti yang tertera dalam persyaratan masing-masing pemeriksaan. Lakukan pengambilan ulang pada spesimen yang tidak memenuhi persyaratan.
b.  Pengiriman spesimen harus disertai formulir permintaan yang diisi dengan data lengkap. Pastikan bahwa identitas pasien pada label dan formulir permintaan sudah sama.
c.   Secepatnya mengirim spesimen ke laboratorium . Penundaan pengiriman spesimen selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan sampel. Penundaan yang terlalu lama akan menyebabkan perubahan fisik dan kimiawi dan dapat menjadi sumber kesalahan dalam pemeriksaan.
d.  Pengiriman spesimen sebaiknya menggunakan wadah khusus, misalnya berupa kotak atau tas khusus yang tersbuat dari bahan plastik, gabus (stryro-foam) yang akan ditutup rapat dan mudah dibawah (Riswanto, 2010).
8.  Penyimpanan Spesimen
Beberapa spesimen yang tidak langsung diperiksa dapat disimpan dengan memperhatikan jenis pemeriksaan yang akan diperiksa. Persyaratan penyimpanan beberapa spesimen untuk beberapa pemeriksaan harus memperhatikan jenis spesimen, antikoagulan/pengawet dan wadah serta stabilitasnya.
Beberapa cara penyimpanan spesimen, yaitu :
a.  Disimpan pada suhu kamar.
b.  Disimpan dalam lemari es dengan suhu 2-8°C.
c.   Dapat diberikan bahan pengawet.
d.  Penyimpanan spesimen darah sebaiknya dalam bentuk serum atau lisat (Santoso, Winoto, dkk, 2008).
9.  Pengolahan Spesimen
Waktu antara pengambilan spesimen dengan pemisahan serum/plasma sampai analitik tidak boleh terlalu lama, biasanya 1-2 jam. Sebaliknya pemisahan serum yang terlalu cepat dapat menyebabkan terjadinya benang fibrin (Harjono, 2010).
Serum dapat dipisahkan setelah darah dibiarkan membeku terlebih dahulu pada suhu kamar selam 20-30 menit, kemudian dicentrifuge 5-15 menit pada kecepatan 3000 rpm.  Pemisahan serum dilakukan paling lambat dalam waktu 2 jam setelah pengambilan spesimen. Sedangkan plasma pemisahanya dapat dilakukan dalam waktu 2 jam setelah pengambilan spesimen dengan terlebih dahulu mengocok darah EDTA atau citrat dengan segera secara pelan-pela dan plasma yang memenuhi syarat harus tidak kelihatan merah atau keruh (lipemik) (Santoso, witono, dkk, 2008).
b.  Tahap Analitik
Faktor-faktor yang berperan dalam proses analitik :
1.  Peralatan yang digunakan
Dimasa sekarang ini peralatan laboratorium semakin canggih dan semakin kompleks pula permasalahan yang tiimbul. Stabilitas suatu alat yang digunakan untuk mengukur sangat menentukan ketelitian suatu pemeriksaan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium adalah peralatan laboratorium baik alat yang autometik maupun alat semi autometik, oleh karena itu alat perlu dipelihara dan dikalibrasi secara  berkala. Kalibarasi tesebut harus dilakukan oleh teknisi alat ataupun petugas laboratorium yang memiliki kompetensi. Disamping itu perwatan harus pula dilakukan secara rutin, untuk itu setiap peralatan harus dilengkapi dengan kartu kontrol pemeliharaan yang akan diletakkan dekat alat, sehingga semua masalah yang timbul pada alat harus dicatat dan tindakaan yang harus dilakukan. Hal yang terpenting dari kalibrasi dan perawaatan alat yaitu penggunaan peralatan. Peralatan yang kita gunakan harus memiliki Standar Operasional Peralatan (SOP) yang tertulis sehingga semua petugas laboratorium dapat melakukan pemeriksaan dengan benar (Santoso, Witono, dkk, 2008, Depkes, 2004).
2.  Kualitas Reagen yang digunakan
Dalam proses pelaksaan pemeriksaan kimia klinik, reagen memegang peranan penting terutama dalam interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium. Sebelum digunakan dalam pemeriksaan setiap reagen harus dilakukan uji mutu untuk melihat apakah suatu reagen baik digunakan dalam pemeriksaan sehinggah tidak terjadi kesalahan dalam pemeriksaan dan didapatkan hasil yang baik. Oleh karena itu, reagen yang digunakan harus terdaftar oleh Kemenkes RI.
Penyimpanan reagen harus diperhatikan, sehingga kualitas reagen dapat terjamin. Penyimpanan reagen harus dalam botol tertutup, hindari paparan matahari langsung, disimpan pada refrigerator/kulkas suhu 2-8°C, serta dilengkapi dengan kartu kontrol. Suhu kulkas tempat penyimpanan harus selalu terkontrol (2-8°C), dan catat suhu kulkas setiap hari pada kartu pencatatan suhu. Demikian pula batas kadarluarsa dari reagen serta keadaan fisik selalu diperhatikan, isi tidak boleh mengeras dan berubah warna. Kualitas dari reagen harus selalu diuji dengan cara melakukan uji presisi dan uji akurasi menggunakan bahan kontrol yang diketahui nilainya (assayed) setiap hari dengan menggunakan reagen tersebut (Santos, witono, dkk, 2008).
3.  Metode yang digunakan
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih metode yaitu :
a.  Tujuan pemeriksaan, misalnya uji saring, diagnostik  dan evaluasi hasil pengobatan serta surveilan. Maka dibutuhkan metode yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi.
b.  Kecepatan hasil yang diinginkan, karena mengingat hasil pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan, maka waktu pemeriksaan yang diperlukan sampai diperolehnya hasil untuk berbagai metode perlu diperrtimbangkan.
c.   Rekomendasi resmi, yaitu berbagai metode pemeriksaan laboratorium dapat dipilih berdasarkan rekomendasi dari suatu lembaga/badan yang diakuai atau organisasi profesi, antara lain World Health Organization (WHO), International Federation of Clinical Chemistry (IFCC), National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) (Santoso, Witono, dkk, 2008).
4.  Volume/kadar sampel yang diperiksa
Volume sampel yang diperiksa sangat menentukan tingkat ketelitian pemeriksaan, oleh karena  itu ketelitian dalam pemipetan sangat diperlukan. Bila menggunakan alat yang semi autometik mikropipet yang digunakan harus selalu terkalibrasi. Sedangkan bila menggunakan alat yang full autometik, waktu kalibrasi peralatan harus diperhatikan.
5.  Sumber Daya Manusia (SDM)
Tenaga pemeriksa yang terampil, berkompeten, handal, serta profesional akan lebih teliti sehingga dapat memberikan hasil pemeriksaan yang lebih baik. Dengan menggunakan alat yang autometik, maka intervensi oleh tenaga pemeriksa akan berkurang sehingga hasil pemeriksa juga akan lebih teliti (Riswanto, 2010).
6.  Waktu
Waktu pengambilan sampel harus diperhatikan, demikian pula waktu inkubasi pada proses pemeriksaan harus sesuai dengan Standar Operasional Pemeriksaan (SOP).
7.  Uji Ketelitian (Presisi)
Kemampuan untuk memberikan hasil yang sama pada setiap pengulangan pemeriksaan disebut dengan presisi. Secara kuantitatif, presisi disajikan dalam bentuk impresisi yang diekspresikan dalam ukuran koefisien variasi. Presisi terkait dengan reprodusibilitas suatu pemeriksaan. Dalam praktek sehari-hari kadang-kadang klinisi meminta suatu pemeriksaan diulang karena tidak yakin dengan hasilnya. Apabila alat  memiliki presisi yang tinggi, pengulangan pemeriksaan terhadap sampel yang sama akan memberikan hasil yang tidak berbeda jauh (Sukorini, dkk, 2010).
Nilai presisi menunjukan seberapa dekat suatu hasil pemeriksaan bila dilakukan berulang dengan sampel yang sama. Ketelitian terutama dipengaruhi oleh kesalahan acak yang tidak dapat dihindari. Presisi biasanya dinyatakan dalam nilai koefisien variasi (% KV atau % CV) yang dihitung dengan rumus berikut :  
KV (%)  =
Dimana :      KV = Koefisien Variasi
                    SD = Standar Deviasi (Simpangan Baku)
                     = Rata-rata hasil pemeriksaan berulang
Semakin kecil nilai KV (%) semakin teliti sistem/metode tersebut atau sebaliknya, semaikn besar nilai KV (%) semaikn tidak teliti sisetm/metode tersebut (Santoso, Winoto, dkk, 2008)
8.  Uji Ketepatan (Akurasi)
Kemampuan mengukur dengan tepat sesuai dengan nilai benar (true value] disebut dengan akurasi. Secara kuantitatif, akurasi diekspresikan dalam ukuran inakurasi. Ini dapat diukur inakurasi alat dengan dilakukan pengukuran terhadap bahan kontrol yang telah diketahui kadarnya. Perbedaan antara hasil pengukuran dengan nilai target bahan kontrol merupakan indikator inakurasi pemeriksaan. Perbedaan ini disebut sebagai bias dan dinyatakan dalam satuan persen (%). Semakin kecil bias, semakin tinggi akurasi pemeriksaan.
Nilai benar ini merupakan suatu konsep ideal yang tidak mungkin dicapai sehingga ukuran ketepatan biasanya cukup menggunakan nilai yang dapat diterima (accepted true value). Nilai benar ini ditetapkan dengan memeriksa kadar bahan kontrol menggunakan metode baku emas (gold standard). Pengukuran inakurasi dapat kita lakukan dengan memenuhi dua syarat. Pertama, kita memiliki kadar bahan control yang diukur dengan metode baku emas. Kedua, bahan kontrol kita masih dalam kondisi yang baik sehingga kadar substansi di dalamnya belum berubah.
Penilaian inakurasi ini tidak bisa hanya dengan satu kali pengukuran, Perlu dilakukan beberapa kali pengukuran terhadap bahan kontrol yang sama dengan menggunakan metode baku emas dan dengan menggunakan alat/metode yang ingin diuji. Bias yang diperoleh selanjutnya dimasukkan dalam suatu plot untuk melihat sebarannya (Sukorini, dkk, 2010).
Akurasi dapat dinilai dari hasil pemeriksaan bahan kontrol dan dihitung sebagai nilai biasnya (d%) :
d(%)  = 
Dimana :      x    = Hasil pemeriksaan bahan kontrol
NA = Nilai aktual/sebenarnya dari bahan kontrol (Santoso,Winoto, dkk, 2008).
Cara Pemeriksaan Uji Ketelitian-Uji Ketepatan
a.  Periode pendahuluan
Pada periode pendahuluan ditentukan nilai dasar yang merupakan nilai rujukan untuk pemeriksaan selanjutnya. Periode pendahuluan perlu dilakukan untuk bahan kontrol unassayed sedangkan bahan kontrol assayed menggunakan nilai rujukan dari pabrik.
Cara pemeriksaan periode pendahuluan :
1.  Periksa bahan kontrol bersamaan dengan pemeriksaan spesimen setiap hari kerja atau pada hari parameter yang bersangkutan sampai 20-25 hari kerja.
2.  Catat nilai yang diperoleh tiap hari kerja tersebut dalam formulir periode pendahuluan.
3.  Hitung nilai rata-ratanya (mean), Standar deviasa (SD), Koefisien Variasi (KV), batas peringatan (Mean ± 2 SD), dan batas kontrol (Mean ± 3 SD).
4.  Teliti apakah ada nilai yang melebihi batas mean ± 3 SD. Bila ada maka nilai tersebut dibuang dan ditulis kembali nilai pemeriksaan yang masih ada kedalam formulir periode pendahuluan, kemudian hitung kembali nilai Mean, SD, KV, Mean ± 2 SD, dan Mean ± 3 SD.
5.  Nilai Mean dan SD yang diperoleh ini dipakai sebagai nilai rujukan pada periode berikutnya, yaitu periode kontrol. Nilai rujukan ini berlaku untuk bahan kontrol dengan nomor lot yang sama. Apabila nomor lot berlainan, harus dimulai dengan periode pendahuluan lagi untuk menentukan nilai rujukannya.
b.  Periode Kontrol
Merupakan periode untuk menentukan baik atau tidaknya pemeriksaan pada hari tersebut. Dapat dilkukan dengan cara:
1.  Periksa bahan kontrol setiap hari kerja atau pada parameter yang bersangkutan diperiksa.
2.  Catat nilai yang diperoleh pada formulir periode kontrol.
3.  Hitung penyimpangannya terhadap nilai rujukan dalam satuan SD (Standar Deviasi Index) dengan rumus :
Sdi = 
4.  Satuan SD (Sdi) yang diperoleh diplot pada kertas grafik kontrol.
c.   Penilaian
Uji Ketelitian-Uji Ketepatan menggunakan aturan Westgard multirules system yang dikembangkan oleh Westgard, dengan sejumlah ketentuan yang dapat menafsirkan data-data kontrol dengan ketentuan kontrol sebagai berikut :
1.  1 – 2S : Satu kontroldiluar nilai mean ± 2 SD (tetapi tidak melampaui ± 3 SD), merupakan ketentuan peringatan. Kemungkinan adanya masalah pada instrumen atau malfungsi metode.
2.  1 – 3S : Satu kontrol diluar nilai mean ± 3 SD, merupakan ketentuan penolakan yang mencerminkan adanya kesalahan acak. Bila hal ini terjadi maka instrumen tidak dapat digunakan untuk pelayanan hingga masalah teratasi. Evaluasi instrumen untuk menemukan adanya kesalahan acak.
3.  2 – 2S : Seluruh pemeriksaan dari satu seri dinyatakan keluar dari kontrol apabila hasil pemeriksaan 2 kontrol berturut-turut keluar dari batas yang sama yaitu x + 2S atau x - 2S. Aturan ini mendeteksi kesalahan sistematik.  
4.  R – 4S : Seluruh pemeriksaan dari satu seri dinyatakan keluar dari kontrol, apabila rentang antara 2 hasil kontrol yang berbeda melebihi 4s (satu control diatas +2s, lainnya dibawah -2s). Aturan ini mendeteksi kesalahan acak dan sistemik. Aturan ini hanya dapat digunakan apabila menggunakan dua level kontrol. Bila ditemukan keadaan ini, instrumen tidak boleh dipergunakan untuk pelayanan sebelum masalah teratasi.
5. 4 – 1S : Seluruh pemeriksaan dari satu seri dinyatakan keluar dari kontrol, apabila 4 kontrol berturut-turut keluar dari batas yang sama baik x +S maupun x -S. Aturan ini mendeteksi kesalahan sistematik. Instrumen tetap dapat diggunakan untuk pelayanan, namun perlu maintenanc terhadap instrumen atau dilakukan kalibrasi kit/instrumen.
6.  10 (X) : Seluruh pemeriksaan dari satu seri dinyatakan keluar dari kontrol, apabila 10 kontrol berturut-turut berada pada pihak yang sama dari nilai tengah. Aturan ini mendeteksi kesalahan sistematik. Instrumen tetap dapat digunakan untuk pelayanan, namun perlu maintenance terhadap instrumen atau dilakukan kalibrasi kit/instrumen.
a.  Tahap Pasca Analitik 
1.  Pembacaan hasil meliputi : penghitungan, pengukuran, identifikasi, dan penilaian sudah benar. 
2.  Pelaporan hasil meliputi : form hasil bersih, tidak ada salah transkrip, tulisan sudah jelas, dan tidak terdapat kecenderungan hasil pemeriksaan atau hasil abnormal (Santoso, Witono, dkk, 2008). 
          Untuk menjaga kerahasian hasil dari pasien sebaiknya hasil yang diberikan tersegel. Hasil pemeriksaan harus memiliki rekaman dokumen yang dapat disimpan untuk maksud pembuktian, memastikan ketertelusuran dan sebagai bantuan untuk tindakan pencegahan dan perbaikan. Disamping itu pula bukti pengambilan hasil harus tertelusur pula untuk menghindari kesalahan dalam pemberian hasil pasien (Siregar C,  2007).
3.  Jenis-jenis Kesalahan
Kesalahan-kesalahan yang biasa terjadi dalam pemeriksaan Laboratorium  terdiri atas :
a.  Kesalahan Teknik
Kesalahan teknik merupakan kesalahan yang sudah melekat, selalu ada pada setiap pemeriksaan dan seakan-akan tidak mungkin dapat dihindari. Kesalahan teknik ada 2 macam  yaitu kesalahan acak (random error) dan kesalahan sistematik (systematic error) (Santoso, Witono, dkk 2008).
Kesalahan acak adalah suatu kesalahan dengan pola yang tidak tetap. Penyebabnya adalah ketidak-stabilan, misalnya pada penangas air, reagen, pipet dan lain-lain. Kesalahan acak menunjukan tingkat ketelitian (Presisi) hasil pemeriksaan kurang baik. Sedangkan kesalahan sistematik adalah suatu kesalahan yang terus-menerus dengan pola yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh standar, kalibrasi atau instrumen yang tidak baik. Kesalahan sistematik menunjukan tingkat ketepatan (Akurasi) hasil pemeriksaan berkurang (Santoso, Witono, dkk, 2008, Depkes, 2004).
b.  Kesalahan non-Teknik
Kesalahan non-teknik merupakan kesalahan yang biasanya dijumpai pada tahap pra analitik atau pasca analitik. Kesalahan pada pra analitik misalnya kesalahan pada pengambilan sampel (Sampling error) seperti kesalahan pada persiapan pasien, kesalahan pada pemberian identitas, kesalahan pada pengambilan dan penampungan spesimen, kesalahan pada pengolahan dan penyimpanan spesimen, kerusakan spesimen karena penyimpanan atau transportasi. Kesalahan sering pula terjadi pada penghitungan dan penulisan (Cleritical error). Pada pasca analitik kesalahan dapat terjadi berupa penulisan dan pengimputan hasil (Santoso, Witono, dkk,  2008).